REVOLUSI PERANCIS
Sebelum meletus revolusi,
masyarakat Prancis terbagi ke dalam tiga golongan politik: pertama, golongan
bangsawan kaya yang berjumlah sekitar 400.000 orang; kedua, terdiri dari
golongan gereja atau agamawan yang berjumlah sekitar 100.000 yang terdiri dari
rahib dan biarawan katolik, pendeta dan uskup; dan ketiga, meliputi sekitar 99%
warga negara Prancis. Golongan ketiga ini pun dibagi ke dalam tiga bagian: (1)
golongan menengah (borjuis) seperti ahli hukum, dokter, pedagang,
pengusaha dan pemilik pabrik; (2) kaum buruh dan pekerja, dan; (3) golongan
petani. Hak-hak politik dan hak-hak istimewa antar golongan tidak terbagi
secara merata. Berbagai masalah pun muncul yang pada akhirya timbul lah gerakan
revolusi Perancis. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan mencoba
menghadirkan latar belakang, proses, dan damapak revolusi Perancis. Semoga
bermanfaat. Check this out!!!
A. Latar Belakang Revolusi Perancis
Latar belakang terjadinya
revolusi perancis disebabkan oleh tiga faktor yaitu: faktor ketidak adilan
politik, kekuasaan raja yang absolut, krisis ekonomi, dan munculnya paham baru. Dalam bidang politik, kaum
bangsawan memegang peranan yang sangat penting dalam bidang politik, sehingga
segala sesuatunya ditentukan oleh bangsawan sedangkan raja hanya mengesahkan
saja. Ketidakadilan dalam bidang politik dapat dilihat dari pemilihan
pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan bukan berdasarkan
profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan administrasi negara menjadi kacau
dan berakibat munculnya tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah
tidak diperkenankannya masyarakat kecil untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan pemerintahan.
Pemerintahan Louis XIV bersifat
monarki absolut, di mana raja dianggap selalu benar. Semboyan Louis XIV adalah l'etat c'est moi (negara adalah saya). Untuk mempertahankan keabsolutannya itu, ia
mendirikan penjara Bastille. Penjara ini diperuntukkan bagi siapa saja yang
berani menentang keinginan raja. Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang
yang tidak disenangi raja. Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre
du cas). Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak
dibatasi undang-undang.
Sebab lain terjadinya Revolusi
Prancis adalah adanya krisis keuangan. Kehidupan raja dan para bangsawan istana
serta permaisuri Louis XVI ,yakni Maria Antoinette (terkenal dengan sebutan
Madame deficit) yang hidup penuh dengan kemewahan dan kemegaha. Di samping itu,
adanya warisan hutang dari Raja Louis XIV dan Louis XV menjadikan hutang negara
makin menumpuk.
Satu-satunya cara untuk
mengatasi krisis keuangan ini adalah dengan cara memungut pajak dari kaum
bangsawan, tetapi golongan bangsawan menolak dan menyatakan bahwa yang berhak
menentukan pajak adalah rakyat. Raja Prancis, Louis XVI menyadari bahwa masalah
keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang atau golongan membayar pajak.
Akan tetapi karena mereka tidak memiliki kewibawaan dalam menindak golongan I
dan II, maka golongan tersebut tetap memiliki hak-hak istimewa dan bebas dari
pajak. Selain faktor ketidak adilan
politik dan krisi ekonomi, munculnya filsuf-filsuf pembaharu juga turut andil
dalam meletusnya revolusi Prancis dengan pengaruh paham rasionalisme mereka.
Paham ini hanya mau menerima suatu kebenaran yang dapat diterima oleh akal.
Paham ini telah melahirkan renaisans dan humanisme yang menuntun manusia bebas
berpikir dan mengemukakan pendapat.
Oleh karena itu, muncullah
ahli-ahli pikir yang karya-karyanya berpengaruh besar terhadap masyarakat Eropa
pada saat itu termasuk tokoh masyarakat Prancis, seperti berikut.
1.John
Locke ( 1685–1753) dengan karyanya yang berjudul Two Treaties of Government
yang mengumandangkan ajaran kedaulatan rakyat.
2.Montesquieu
(1689–1755) dengan karyanya L'es prit des Lois (Jiwa Undang-Undang). Dalam
buku itu terdapat teorinya tentang trias politika yakni tentang pemisahan
kekuasaan antara legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana
undang-undang, dan Judikatif (pengatur pe-ngadilan segenap pelanggaran terhadap
undang-undang yang berlaku. Hal ini semua dimaksudkan agar tidak terjadi
sewenang-wenang).
3.J.J.
Rousseau ( 1712–1778) dengan karyanya Du Contract Social (Perjanjian
Masyarakat). Rousseau mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia sama dan
merdeka. Setiap manusia pada prinsipnya sama dan merdeka dalam mengatur
kehidupannya kemudian membentuk semacam perjanjian sesama anggota masyarakat
atau contract social. Melalui perjanjian bersama itu, dibentuk suatu badan yang
diserahi kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan ketertiban masyarakat
yaitu pemerintah. Dengan demikian, kedaulatan sebenarnya bukan pada badan
(pemerintah), melainkan pada rakyat.
B. Proses Terjadinya Revolusi Prancis
Untuk mengatasi krisis ekonomi,
raja memanggil Dewan Perwakilan Rakyat (Etats Generaux). Dewan ini
ternyata tidak mampu mengatasi masalah sebab dalam sidang justru terjadi
pertentangan mengenai hak suara. Golongan I dan II menghendaki tiap golongan
memiliki satu hak suara, sementara golongan III menghendaki setiap wakil
memiliki hak satu suara.
Jika dilihat dari proporsi
jumlah anggota Etats Generaux yang terdiri atas golongan I,
300 orang, golongan II 300 orang, dan golongan III 600 orang, dapat disimpulkan
bahwa golongan I dan II menghendaki agar golongan III kalah suara sehingga
rakyat tidak mungkin menang. Jika kehendak golongan III yang dimenangkan,
golongan I dan II terancam sebab di antara anggota mereka sendiri ada
orang-orang yang bersimpati pada rakyat.
Pada tanggal 17 Juni 1789,
anggota Etats Generaux dari golongan III mengadakan sidang sendiri, didukung oleh
sebagian kecil anggota dari golongan I dan II. Peserta sidang menyatakan diri
sebagai Majelis Nasional yang bertujuan memperjuangkan terbentuknya konstitusi
tertulis bagi Prancis. Raja berusahamembubarkan organisasi yang dipimpin Jean
Bailly dengan dukungan Comtede Mirabeau ini, baik dengan jalan perundingan
maupun dengan kekerasan. Sikap raja yang berusaha membubarkan Majelis Nasional
dengan jalan kekerasan menimbulkan kemarahan rakyat dan terjadilah huru-hara. Puncak
huru-hara terjadi tanggal 14 Juli 1789, ketika rakyat menyerbu dan meruntuhkan
penjara Bastille, lambang kekuasaan mutlak raja. Penyerangan ini didukung oleh
Tentara Nasional yang dipimpin Lafayette. Ketika terjadi pemberontakan
oleh rakyat, Louis XVI melarikan diri ke luar negeri. Kesempatan ini
dipergunakan oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan baru yang demokratis.
Dewan Perancang Undang-Undang yang terdiri dari Partai Feullant dan Partai
Jacobin segera membentuk Konstitusi Prancis pada tahun 1791. Partai Feullant
adalah partai yang proraja, sedangkan Partai Jacobin adalah partai yang
prorepublik. Partai Jacobin beranggotakan kaum Geronde dan Montague. Partai ini
dipimpin oleh tiga sekawan, Robespiere, Marat, Danton. Keadaan negara yang
semakin berbahaya membuat Dewan Legislatif membentuk pemerintahan republik pada
tanggal 22 September 1792.
Raja Louis XVI dan istrinya
dijatuhi hukuman pancung dengan quillotine pada tanggal 22 Januari 1793. Setelah Raja Lous XVI dan
istrinya dijatuhi hukuman mati, Prancis pun mengalami berbagai jenis
pemerintahan, diantaranya:
1. Pemerintahan Monarki Konstitusional (1789-1793)
14 Juli 1789 merupakan langkah
awal yang diambil oleh pemerintah revolusi, yaitu dengan dibentuk Pasukan
Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Jendral Lafayette. Selanjutnya dibentuk
Majelis Konstituante untuk menghapus hak-hak istimewa raja, bangsawan, dan
pimpinan gereja. Semboyan rakyat segera dikumandangkan oleh J.J. Rousseau yaitu liberte, egalite dan fraternite.
Dewan perancang undang-undang
terdiri atas
Dewan perancang undang-undang
terdiri atas Partai Feullant dan Partai Jacobin. Partai Feullant bersifat pro
terhadap raja yang absolut, sedangkan Partai Jacobin menghendaki Prancis
berbentuk republik. Mereka beranggotakan kaum Gerondin dan Montagne di bawah
pimpinan Maxmilien de’Robespierre, Marat, dan Danton. Pada masa ini juga raja
Louis XVI dijatuhi hukuman pancung (guillotine) pada 22 Januari 1793 pada saat
itu bentuk pemerintahan Prancis adalah republik.
2. Pemerintahan Teror atau
Konvensi Nasional (1793-1794)
Pada masa ini pemegang
kekuasaan pemerintahan bersikap keras, tegas, dan radikal demi penyelamatan
negara. Pemerintahan teror dipimpin oleh Robespierre dari kelompok Montagne. Di
bawah pemerintahannya setiap orang yang kontra terhadap revolusi akan dianggap
sebagai musuh Prancis. Akibatnya dalam waktu satu tahun terdapat 2.500 orang
Prancis dieksekusi, termasuk permaisuri Louis XVI, Marie Antoinette. Hal ini
menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Akhirnya terjadi perebutan
kekuasaan oleh kaum Girondin. Robespierre ditangkap dan dieksekusi dengan cara
dipancung bersama dengan 20 orang pengikutnya. Pada Oktober 1795 terbentuklah
pemerintahan baru yang lebih moderat yang disebut Pemerintahan Direktori.
3. Pemerintahan Direktori atau
Direktorat (1795-1799)
Pada masa Direktori,
pemerintahan dipimpin oleh lima orang warga negara terbaik yang disebut
direktur. Masing-masing direktur memiliki kewenangan dalam mengatur masalah
ekonomi, politik sosial, pertahanan-keamanan, dan keagamaan. Direktori dipilih
oleh Parlemen. Pemerintah direktori ini tidak bersifat demokratis sebab hak
pilih hanya diberikan kepada pria dewasa yang membayar pajak. Dengan demikian
wanita dan penduduk miskin tidak memiliki hak suara dan tidak dapat berpartisipasi.
Pada masa pemerintahan
direktori, rakyat tidak mempercayai pemerintah karena sering terjadinya tindak
korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berakibat terancamnya
kesatuan nasional Prancis. Akan tetapi, dari segi militer Prancis mengalami
kemajuan yang pesat, hal ini berkat kehebatan Napoleon Bonaparte.
Ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah ini berhasil dimanfaatkan Napoleon
untuk merebut pemerintahan pada tahun 1799.
4. Pemerintahan Konsulat
(1799-1804)
Pemerintahan konsulat dibagi ke
dalam tiga bagian, yaitu Napoleon sebagai Konsulat I, Cambaseres sebagai
Konsulat II, dan Lebrun sebagai Konsulat III. Akan tetapi dalam perjalanan
sejarah selanjutnya Napoleon berhasil memerintah sendiri. Di bawah pimpinan
Konsulat Napoleon, Perancis berhasil mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya
dalam bidang militer akan tetapi juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Pada tahun 1803 Napoleon terpilih sebagai kaisar Prancis atas dasar
voting dalam sidang legislatif. Penobatannya dilaksanakan pada 2 Desember 1804
oleh Paus VII.
5. Masa Pemerintahan Kaisar (1804-1815)
Napoleon sebagai kaisar dimulai
dengan pemerintahannya yang bersifat absolut. Hal ini jelas tidak disukai oleh
rakyat Prancis. Napoleon memiliki keinginan untuk mengembalikan kekuasaan raja
secara turun-temurun dan menguasai seluruh wilayah Eropa. Ia mengangkat
saudara-saudaranya menjadi kepala negara terhadap wilayah yang berhasil
ditaklukannya. Oleh karena itu, pemerintahan Napoleon disebut juga pemerintahan
nepotisme. Pemerintahan kekaisaran berakhir setelah Napoleon ditangkap pada
tahun 1814 setelah kalah oleh negara-negara koalisi dan dibuang di Pulau Elba.
Karena kecerdikannya Napoleon berhasil melarikan diri dan segera memimpin
kembali pasukan Prancis untuk melawan tentara koalisi selama 100 hari. Namun,
karena kekuatan militer yang tak seimbang, akhirnya Napoleon mengalami
kekalahan dalam pertempuran di Waterloo pada tahun 1915. Dia dibuang ke pulau
terpencil di Pasifik bagian selatan, St. Helena sampai akhirnya meninggal pada
tahun 1821.
6. Pemerintahan Reaksioner
Rakyat merasa tidak senang
terhadap sistem pemerintahan absolut yang dilakukan oleh Napoleon. Oleh karena
itu rakyat kembali memberi peluang pada keturunan Raja Louis XVIII untuk
menjadi raja di Prancis kembali (1815-1842). Raja yang berkuasa pada saat
sistem pemerintahan Reaksioner, selain Raja Louis XVIII, adalah Raja Charles X
(1824-1840) dan Raja Louis Philippe (1830-1
C. Dampak Revolusi Perancis
Revolusi Perancis telah membawa
pengaruh yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang meliputi
bidang politik, ekonomi dan sosial. Jiwa, semangat dan nilai-nilai revolusi
sudah tertanam secara luas dan mendalam di hati rakyat dengan semboyan liberte,
egalite, dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaran).
1. Di
bidang politik, tampak jelas dengan meluasnya paham liberal di Spanyol, Italia,
Jerman, Austria dan Rusia. Rakyat menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan
undang-undang sehingga terbentuklah pemerintahan monarki konstitusional.
Berkembangnya semangat nasionalisme. Hal ini muncul setelah Perancis menghadapi
Perang Koalisi. Mereka menentang intervensi asing, semangat ini juga menjalar
ke negara-negara lain. Di samping itu juga berkembang paham demokrasi di kalangan
rakyat, mereka menuntut dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat, negara republik,
dan sebagainya.
2. Di
bidang ekonomi, dihapuskannya pajak feodal dan petani yang semula hanya sebagai
penggarap tanah menjadi petani pemilik tanah sendiri. Di samping itu, dihapuskannya
sistem gilde sehingga perindustrian dan perdagangan menjadi berkembang.
3.Di
bidang sosial, dihapuskannya susunan masyarakat feodal yang terbagi menjadi
tiga golongan dan digantikannya dengan masyarakat baru yang berdasarkan
spesialisasi kerja, seperti cendekiawan, pengusaha, petani dan sebagainya.
Pengaruh pemikiran yang
dihasilkan oleh revolusi Perancis terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia
adalah usaha untuk mewujudkan suatu negara merdeka yang bebas dari belenggu
penjajahan. Pada saat penyusunan bentuk pemerintahan, para pendiri negara (The
Founding Fathers) tidak memilih bentuk kerajaan akan tetapi memilih bentuk
Republik. Hal ini tampaknya secara tidak langsung mendapatkan pengaruh dari
revolusi Prancis karena bentuk negara Republik memungkinkan untuk terbangunnya
suasana pemerintahan yang demokratis. Seperti ditunjukkan oleh penyebab
timbulnya revolusi Prancis, walau bagaimanapun bentuk kerajaan akan cenderung
mengarahkan pada munculnya kekuasaan raja yang absolut dan tirani apabila tidak
dibatasi dengan undang-undang. Oleh karena itu, pembentukan negara Republik
Indonesia didasarkan pada Undang-undang Dasar yang dapat menjadi pengontrol
jalannya kekuasaan. Di Indonesia juga diberlakukan pola pembagian kekuasaan
seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh
presiden beserta jajaran menterinya, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan
MPR, sementara kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung Konstitusi, dan
Mahkamah Yudisial.
ConversionConversion EmoticonEmoticon